HEAD TITLE

Bacalah dengan nurani yang bersih, menulislah dalam kejernihan hati dan fikiran lalu rangkailah persahabatan dengan cinta dan kasih sayang

Kami sangat berterima kasih jika anda berkenan meluangkan sedikit waktu untuk memberikan sekedar komentar

Copy Paste diizinkan, tapi jangal lupa mohon tampilkan source linkback-nya

Cari Blog Ini

Minggu, 19 September 2010

Bagaimana kita menuliskan NAMA yang benar untuk SANG PENCIPTA



Dalam penulisan diberbagai blog maupun website sering kali nama-NYA dituliskan dalam berbagai versi, penulisan yang tersering adalah :

  1. ALLAH. SWT
  2. ALLOH. SWT
  3. AWLOH. SWT
  4. ALAH. SWT
  5. ELAH
Menurut Anda mana yang benar ?

Jawaban berikut dikutip dari Blogsite : PUSTAKA LANGIT BIRU

Sebagian Muslim tidak mau menulis “Allah”, sebab katanya seperti tulisan yang dipakai oleh orang Nahrani. Maka mereka menulis “Alloh” (dengan memakai huruf “o”) untuk membedakan dari Nashrani.

Tapi disini ada sedikit catatan kritis:
  • Orang Nashrani membaca kata “Allah” dengan ucapan: A – l – a – h. (Disini tidak terdengar bunyi “o” dan huruf “l” tidak dibaca double).
  • Dalam ejaan Arab, tidak dikenal huruf vokal “o”. Yang ada ialah bunyi “a” atau fat-hah. Asma Allah disana ditulis “Allah”, meskipun membacanya: Alloh.
  • Dalam Injil berbahasa Arab pun, Allah ditulis dengan huruf yang sama persis dengan kita, yaitu: “Allah”. Kaum Nashrani Arab membacanya juga: Alloh (seperti kita).
  • Menurut EYD di Indonesia, tulisan yang disepakati memang “Allah”.
  • Bahkan, dalam literasi internasional, seperti bahasa Inggris, juga tertulis “Allah”, bukan “Alloh”.
Singkat kata, penulisan “Allah” itu sudah tepat, tidak perlu diubah. Tetapi pengucapannya tetap “Alloh”, bukan “Al-lah”, apalagi “A-lah”.

Kalau kita ganti menjadi tertulis “Alloh”, seakan kita mengalah terhadap cara penulisan orang Nashrani. Padahal kenyataannya, mereka meniru kita, bukan kita meniru mereka. Kalau kita mengalah, lalu menulis “Alloh”, nanti orang Nashrani akan merasa menang dan mampu mendesak kita ke pinggir. Padahal, Ummat Islam adalah pemegang “hak legal” atas segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah Ta’ala.

Islam adalah agama yang diridhai Allah Ta’ala. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Al Islam.” (Ali Imran: 19). Konsekuensinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan syiar Asma Allah, Ummat Islam yang berhak memangkunya. Bukan ummat lain.

Di Indonesia sendiri, ada kenyataan negatif yang kita dapati sejak jaman dahulu. Kaum Nashrani sejak lama memakai istilah-istilah yang berbau Islam, misalnya: Jemaat, kalam kudus, roh kudus, al kitab, kotbah, Isa al masih, dsb. Padahal, dalam kitab Bible (baca: terjemahan Injil ke dalam bahasa Inggris dengan berbagai perubahan di dalamnya) tidak ada istilah-istilah itu.

Mengapa orang Nashrani di Indonesia memakai istilah-istilah Al Qur’an?

Alasannya sebagai berikut:

  1. Mereka ingin lebih mudah diterima oleh Ummat Islam Indonesia. Dengan memakai istilah-istilah yang tidak jauh berbeda, mereka berharap bisa lebih mudah masuk dalam kultur Ummat Islam di Indonesia.
  2. Mereka ingin meyakinkan kepada orang-orang Muslim yang kemudian masuk ke Nashrani, bahwa antara Islam dan Nashrani tidak terlalu banyak perbedaan. Buktinya –kata mereka- istilah yang dipakai mirip.
  3. Ketika kaum Nashrani gencar memakai istilah-istilah itu di berbagai kesempatan, mereka berharap istilah tersebut menjadi ciri khas mereka. Jika Ummat Islam kemudian memakainya, kaum Nashrani berharap Ummat Islam merasa asing dengan istilah itu.

Contoh paling nyata adalah tulisan “Allah”. Karena begitu gencarnya Nashrani memakai tulisan tersebut, meskipun mereka membacanya “A-lah”, Ummat Islam merasa tidak nyaman memakainya. Padahal sejatinya, kita yang awalnya memiliki istilah itu dan berhak sepenuhnya menggunakannya. Jika diumpamakan sebuah produk, kita yang memegang copy rights-nya. Orang lain kalau ingin memakai, dia harus permisi dulu, atau membayar royalty-nya.

Dalam Bible sendiri, istilah-istilah yang dipakai sangat berbeda, misalnya God, Father, Son, Angel, Marie, Jesus, dan sebagainya. Kalau kita meniru istilah-istilah itu, jelas keliru. Tetapi nyatanya, kita memakai istilah yang berasal dari Al Qur’an, sehingga tidak bisa disebut “meniru Nashrani”.

Masalah ini kelihatan sederhana, tetapi disini ada semantic war. Pemakaian istilah-istilah Qur’ani dalam agama Nashrani itu bukan perkara sepele. Biasanya hal ini dirumuskan oleh kaum orientalis yang tingkat keseriusan berpikirnya tinggi. Untuk rata-rata orang Nashrani Indonesia, mereka tidak memiliki kejelian setinggi itu. Saya mencurigai Snouck Hurgronje sebagai pelopor pemakaian kata-kata Qur’ani dalam peristilahan agama Nashrani di Indonesia.

Satu saran praktis yang bisa saya sampaikan. Kalau Anda menulis kata “Allah” sebaiknya ditambah dengan kata-kata lain yang diambil dari Asma’ul Husna. Hal itu akan menjadi pembeda tegas antara tulisan “Allah” menurut versi Islam, dan tulisan serupa menurut versi Nashrani. Istilah-istilah yang bisa dipakai, antara lain: Subhanahu Wa Ta’ala, Tabaraka Wa Ta’ala, Jalla Jalla Luhu, Jalla Sya’nuhu, ‘Azza Wa Jalla, Jalla Wa ‘Ala, dan sebagainya. Atau berupa Asma’ul Husna tunggal seperti: Al ‘Azhim, Al ‘Aziz, Al Ghafur, Ar Rahmaan, Al Karim, dan sebagainya. Orang Nashrani tidak akan memakai kata-kata Asma’ul Husna di atas, sebab ia sangat berlawanan dengan akidah mereka.

Semoga menjadi wawasan yang bermanfaat! Amin.

2 komentar: